OPINI


 
Oleh: Pdt. Rachman Tua Munthe,MTh
Praeses HKBP Distrik XV Sumbagsel

1. Pada buku ”Pedoman Penatalayanan HKBP” terbitan Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung pada tahun 2010 ini, kita telah diarahkan olehOmpui Ephorus HKBP dalam kata sambutan untuk mewujudkan pencapaian mengembalikan jati diri HKBP. Antara lain ditekankan, (1) agar tetap setia ”berpegang teguh kepada Firman Allah”; (2) senantiasa memberitakan Injil serta ”melakukan pelayanan holistik” meningkatkan taraf kehidupan warga masyarakat; (3) pelayanan yang dilaksanakan menjangkau semua warga jemaat, tetapi juga di luar jemaat agar ”makin banyak orang menerima keselamatan yang dari Yesus Kristus”; (4) mengusahakan secukupnya untuk memenuhi segala kebutuhan ”untuk dapat melakukan pelayanannya” dengan baik dan berkembang; serta (5) senantiasa ”menjadi motor penggerak gerakan oikumene” di dunia ini. (lihat halaman vi).

Agar pencapaian dimaksud semakin dimantapkan, terutama dalam memahami dan memprediksi ke depan perjalanan HKBP, maka menurut kami, perlu kiranya kita memahami tentang apa dan bagaimana Gereja (Eklesiologi) HKBP.Dengan demikian sebagai Warga Jemaat atau Pelayan (Parhalado) kita dapat memposisikan diri dalam gereja kita.Kita juga dapat mempraktekkan iman dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah kancah pergumulan gerejaNya HKBP di dunia ini. Terutama di mana kini kita hidup dalam era globalisasi dan era informatika yang sangat maju dan modern. Kita para Warga Jemaat dan Pelayan tahbisan adalah senantiasa harus selalu berusaha supaya benar dalam kehidupan sebagai orang Kristen ditengah-tengah berbagai tantangan pergumulan yang terpaksa harus kita hadapi dan alami di dunia ini.

2. Lahirnya gereja HKBP pada pertengahan abad 19 (1861) sangat berbeda dengan lahirnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang dulunya dinamai Indische Kerk, yang dipimpin oleh Kerkbestuur. Gereja HKBP lahir bukanlah oleh para pedagang Portugis yang datang ke Indonesia didorong motif ekonomi tetapi juga menyebarkan Injil. Bukan juga oleh orang Belanda yang tergabung dalam ekspedisi dagang VOC, yang pada suatu waktu memprotestankan orang Kristen (yang pada mulanya anggota Gereja Katolik Roma) yang telah ada di Indonesia. Gereja HKBP juga tidak ada hubungannya dengan Indische Kerk atau yang dinamai Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda sebagai satu wadah organisasi dari semua jemaat Protestan yang ada di Indonesia. Di mana gereja itu dipimpin oleh Kerkbestuur (Pengurus Gereja) yang terdiri dari pejabat tinggi negara (sebagai Ketua) dan pendeta-pendeta Belanda. Pengurus ini diangkat oleh Gubernur Jenderal dan tugas-tugasnya juga ditetapkan pemerintah. GPI ini adalah Gereja Negara.

HKBP lahir di dunia ini, berbeda juga dengan lahirnya gereja sebagai persekutuan yang berlatarbelakang berbagai denominasi. Bahwa HKBP bukanlah lahir dari kesepakatan sekelompok orang yang tekun mengadakan persekutuan doa atau ibadah kebangunan rohani yang rutin, yang datang dari latarbelakang beberapa gereja yang berlainan denominasinya. Kemudian bersepakat membentuk satu gereja baru, dengan nama yang baru, bentuk dan corak khusus yang baru dan mengikuti ajaran-ajaran yang disampaikan dan dikembangkan dalam kelompok doa atau persekutuan kebangunan rohani yang diadakan tersebut. Di mana keanggotaannya tidak perlu harus menerima surat keterangan atau surat pindah gereja dari gereja asalnya. (Menurut Dictionary of Theology, denominasi dari kata ”Denomination” artinya ”A class, kind, or sort designated by a specifik name; ecclesiastically, a body or sect holding peculiar distinctives.” Dari abad ke-16 sampai sekarang ini ada tendency terhadap multiplikasi denominasi sebagai karakteristik Protestantisme. Tetapi kepelbagaian denominasi itu telah dihimpun dengan perkataan ”Oikumene” (Ecumenical).

3. Dalam HKBP tidak pernah melayani orang atau jemaat yang tidak jelas status atau posisi kegerejaannya. Bila ada surat keterangan yang menunjukkan bahwa dia terdaftar dalam satu gereja, barulah dia dilayani sesuai dengan kebutuhannya. Sintua, pendeta dan pelayan lainnya di HKBP hanya melayani di dan kepada jemaatnya. Itu berarti tidak ada sintua atau pun pendeta ”sedunia” yang dapat melayani siapa saja, manusia yang ada di dunia ini. Terutama yang sifatnya pelayanan kegerejaan. Kelompok atau organisasi yang memilih, mengangkat dan menetapkannya yang mengakuinya, misalnya sebagai sintua atau pendeta. Yang lainnya dapat diakui hanyalah bila ada hubungan oikumenis. Pendeta HKBP Palembang misalnya tidak dapat melayani baptisan, perjamuan kudus dan khotbah di gereja yang tidak saling mengakui seperti di Gereja Pentakosta di Indonesia, di Gereja Bethel Indonesia, Gereja Injil Sepenuh, Gereja Tuhan, Gereja Akhir Zaman, dll. HKBP sendiri menetapkan dalam Konfessinya siapa ”Parhalado ni Huria” (Majelis Gereja). Tapi HKBP dapat dan bersedia melayani siapa saja yang ingin menjadi Kristen atau masuk anggota HKBP dengan terlebih dulu menerima bimbingan, yang disebut sebagai jemaat ”parguru” (sedang belajar). [*) Mengenai hal ini memang saya menemukan di Sumbagsel, kemungkinan-kemungkinan lain dapat terjadi, karena anggota jemaat HKBP misalnya, yang terpaksa bergabung dalam satu gereja yang lain denominasinya atau terpaksa bergabung dalam gereja yang disebutkan POUK (Persekutuan Oikumene Umat Kristen), di mana gereja-gereja pada tingkat jemaat induk sebenarnya tidak saling mengakui, tetapi dalam gereja POUK tersebut mereka mengadakan kebaktian bersama.]

Dalam RPP (Ruhut Parmahanion Paminsangon) HKBP Pasal III.3. halaman 18, misalnya dikatakan, ”adalah pelanggaran di HKBP yang mengijinkan aliran/bidat (yang memiliki iman yang lain dari HKBP) berkhotbah di rumahnya (kecuali karena ”ulaon” adat), demikian juga yang mengikuti pelayanan sakramen dari yang tidak pendeta (dalam hal ini HKBP dan yang diakui HKBP)”. Tetapi, oleh pengertian oikumene yang tidak sepenuhnya dipahami, dan yang ”lepas kendali” dari pemimpinnya di gereja dalam melakukan kegiatannya, sering RPP (atau Siasat/Disiplin Gereja) ini dilanggar dengan sadar atau tidak sadar. Dan banyak gereja yang haus akan pertambahan umatnya (yaitu gereja yang baru ada lahir di Indonesia ini), tidak memegang aturan yang tetap, aturan yang dipakai tergantung si pemimpinnya saja (dalam hal ini pendeta yang diangkat gereja itu). Sehingga sangat mudah sekali untuk masuk menjadi anggotanya, sama seperti pengalaman menjadi anggota jemaat Kristen Batak (yang kemudian HKBP) pada zaman Zending dari Eropa yang mengasuhnya. Pertambahan warga jemaatnya yang diutamakan, bukan kualitas iman warganya.Bahkan kini nampaknya ada gereja yang sifatnya bisnis, perpuluhan atau sumbangan dari anggota jemaat itu yang lebih diperlukan. Sekiranya ada sintua atau pendeta yang melayani siapa saja sesuai dengan keinginan hatinya, tetapi menyebut dirinya sebagai sintua dan pendeta gereja tertentu, namun tidak/tanpa melaporkan hasil pelayanannya itu di gereja di mana dia melayani, sangat mungkin itu terjadi oleh pemahamannya yang salah terhadap posisinya dan tugasnya sebagai sintua atau pendeta. Atau kemungkinan lain, tindakannya itu dilaksanakan dengan motivasi tertentu, yang sifatnya untuk kepentingan pribadi sendiri. Atau ingin memperoleh keuntungan memenuhi keinginannya.

Anggota jemaat sendiri banyak yang terpengaruh untukkeuntungan ini, sehingga banyak yang ikut serta, dikatakan dalam ”pelayanan” pada gereja atau kelompok atau persekutuan yang lain, tanpa keluar dari keanggotaan di gereja asalnya. Atau paling sedikit aktif sebagai koordinator kerohanian atau master ceremony dalam ibadah di tempat di mana dia bekerja, dengan memakai metode pelayanan dan peribadahan yang kemungkinan sama sekali berlawanan dengan bentuk dan pola serta tradisi pelayanan di gerejanya sendiri. Semuanya yang kita katakan di atas ini dapat merupakan ciri kekristenan kota, yang banyak mempengaruhi terhadap kehidupan kegerejaan yang memberikan pengertian/pemahaman eklesiologi yang baru bagi warga jemaat.

4. Gereja HKBP adalah lahir sebagai hasil pekerjaan sending (Protestan), terutama oleh Lembaga Zending RMG (Rheinische Mission Geselchaft), kini VEM (Vereiningte Evangelisch Mission) yang berdomisili di Wuppertal, Jerman (Eropa). Sejak lahirnya HKBP tidak pernah diatur oleh penguasa setempat atau pemerintah. Orang-orang Kristen Batak sejak mulanya hanya mau diatur oleh pemimpinnya yaitu para pemberita Injil atau yang menyampaikan berita kesukaan itu kepada mereka. Setelah orang Kristen Batak itu membentuk suatu jemaat (gereja) kemudian beberapa jemaat digabung dalam ressort dan beberapa resort digabung dalam distrik, mereka sekaligus menerima para pendeta sending sebagai pemimpinnya yang bertindak sebagai Pendeta Jemaat, Pendeta Ressort dan Praeses (pimpinan distrik) dan semuanya mereka di bawah pimpinan dan pengawasan seorang Ephorus.

Maka sejak dulu sampai sekarang, tidak ada gereja HKBP yang terlepas dari keterikatannya dan kesamaannya dengan gereja HKBP lainnya. Walaupun berbeda gerejanya (huria) karena pertumbuhan dan pengembangan yang terjadi untuk memperolehpelayanan yang efektif yang dapat terjangkau, walau pun berbeda ressort dan berbeda distrik, dalam hal struktur organisasi, peribadahan (liturgi atau tata kebaktian serta pelaksanaannya) dan ajaran (doktrin atau teologi) yang dipegang bersama adalah tetap sama. HKBP telah mengantisipasi perkembangan zaman akhir-akhir ini, misalnya, mendirikan pos-pos Pelayanan atau Parmingguan di tempat yang jauh dari gedung gereja, agar warga jemaat HKBP dapat terlayani dan tidak hijrah ke tempat lain. Demikian juga bagi warga jemaat yang kurang memahami bahasa Batak, segera diadakan dalam gereja HKBP kebaktian dalam bahasa Indonesia. Di luar negeri HKBP mengadakan pelayanan kebaktian dalam bahasa Inggris yang dapat dimengerti dan dipahami, terutama bagi mereka yang dibesarkan di luar negeri. Dan mengantisipasi dampak dari pelayanan kerohanian dan ibadah di kampus-kampus Universitas, di perkantoran, di perusahaan dan di ruangan pertemuan lainnya, yang sering mengacaukan pengetahuan dan pemahaman eklesiologi si warga jemaat tentang gerejanya sendiri, HKBP memberikan pembinaan dalam diskusi waktu kebaktian weik, penelaahan Alkitab dan kumpulan paduan suara, dll.

5. Setelah terbentuk persekutuan dari orang-orang Kristen Batak, sejak tahun 1861, segera persekutuan jemaat itu dihimpun dan dibina secara tertib dan teratur melalui dibentuknya Peraturan Jemaat dan Tata Ibadah 1866. Dan setelah jemaat-jemaat Batak semakin banyak, maka dibentuklah Tata Gereja 1881. Dalam tata gereja ini telah disusun struktur gereja HKBP mulai jemaat setempat sampai ke tingkat Pusat. Diaturkan juga syarat-syarat untuk menjadi pimpinan (Uluan ni Huria, Pendeta Ressort, Praeses dan Ephorus) di HKBP. Pada tahun-tahun berikutnya Aturan Peraturan 1881 ini telah direvisi dan diperbaharui beberapa kali, atau disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam gereja HKBP. Yakni, dengan ditetapkannya Aturan HKBP 1930, Statuten HKBP 1940 (akhirnya tidak sempat dipakai karena HKBP segera mandiri Juli 1940, yang dipakai kembali ke Aturan HKBP 1930). Aturan HKBP 1950, Aturan HKBP 1962, Aturan dan Peraturan HKBP 1972-1982, Aturan dan Peraturan HKBP 1982-1992, Aturan dan Peraturan HKBP 1994 dan kini yang terakhir Aturan dan Peraturan HKBP (2002) yang mulai berlaku 1 Januari 2004. Dalam penuntun pada Petunjuk Pelaksanaan Aturan Peraturan HKBP 2002 yang terakhir ini, dikatakan, Aturan ini tidak akan diganti lagi sekali sepuluh tahun, tetapi sesuai perkembangan kemajuan dan pemikiran, dapat diubah dengan Amandemen. Dan pada September 2010 yad telah direncanakan mengadakan Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan HKBP (2002).

Segala sesuatu yang prinsipil yang sehubungan dengan kehidupan intern gereja HKBP telah diaturkan dan dirumuskan dalam Aturan dan Peraturan yang berlaku. Kini adalah tugas Rapat Majelis Pekerja Sinode (MPS) HKBP yang terdiri dari delegasi dari setiap distrik yang ada di HKBP, untuk ”Menetapkan peraturan-peraturan yang belum diatur dalam Aturan Peraturan HKBP demi memantapkan pelaksanaan pelayanan-pelayanan di HKBP”.

6. Di kemudian hari disadari bahwa eklesiologi dalam gereja Batak (HKBP) terutama dalam hal tata ibadah dan pengakuan percaya kepada Yesus Kristus, banyak ditata menurut pola dan model yang ditiru dari gereja asal para penginjil yang ada di Eropa. Tapi yang jelas gereja HKBP bukan merupakan gereja ”yang dipindahkan” dari Eropa ke Indonesia. Pengkristenan ditengah-tengah masyarakat di tanah Batak tidak ada sebagai mengkristenkan masyarakat pribumi dalam arti mencabut mereka dari lahan agama, budaya dan kemasyarakatan mereka, supaya memasukkan mereka ke dalam lingkungan Barat. Atau, tidak ada yang sering disebut kristenisasiyang sekaligus westernisasi. Karena itu tidak ada yang dinamakan Corpus Christianum (totalitas seluruh aspek kehidupan Kristen dengan label Kristen: Negara Kristen, masyarakat Kristen, adat istiadat Kristen, budaya Kristen) di tanah Batak, tempat mana pada mula pertamanya lahir HKBP. Di tanah Batak terhindar dari usaha mengkristenkan seluruh dunia bertolak dari asumsi bahwa ada pemerintah, kebudayaan dan bahkan sistem politik-ekonomi-sosial-budaya Kristen. Kalaupun, misalnya, di Pematang Siantar ada yang dinamai HKBP Kampung Kristen di sana tidak terdapat corpus christianum-nya HKBP.
Makanya kita lihat sendiri dari dulu sampai kini, Gereja HKBP terbuka lebar-lebar menerima adat budaya Batak dilaksanakan berdampingan dengan hidup kekristenan. Kita dapat melihat kekristenan orang Batak seperti tidak terpisahkan dengan adat Batak. Bahkan perkembangan dan pertambahan gereja Batak di penjuru Indonesia bahkan dunia, sejalan dan sejajar dengan pertambahan dan perkembangan ”paradaton” dan gedung tempat pelaksanaan adat ditengah-tengah di mana orang Batak banyak berada dan bertempat tinggal. Di tempat mana yang belum ada gereja HKBP, bertempat tinggal beberapa keluarga orang Batak, bila keluarga itu telah dapat melakukan adat Batak (upacara perkawinan, penguburan orangtua meninggal, dll), maka segera di tempat itu akan didirikan juga gereja HKBP. Mereka akan mencari Pelayan HKBP dari tempat terdekat kepada mereka, walau pun antar propinsi atau kabupaten atau kecamatan. Eklesiologi HKBP telah dipengaruhi pemahaman dan pengalaman dalam adat Batak. Di banyak tempat, banyak justru Pelayan Tahbisan HKBP (terutama Sintua) berperan rangkap sebagai raja Batak, yang banyak berperan aktif dalam mengatur dan melaksanakan jalannya ”paradaton” Batak.

Kita mengetahui juga banyak nyanyian (buku ende) HKBP yang lagunya bernuansa sifat kebatakan. Jauh berbeda misalnya dengan nyanyian gereja di Jawa, Sulawesi dan Maluku yang ada juga bernuansa lagu tradisional suku mereka. Lagu kekristenan ciptaan orang Barat tidak semuanya diterjemahkan ke Buku Ende HKBP, hanya yang bersesuaian dengan kehidupan masyarakat Kristen Batak.

7. Walau pun HKBP cenderung dan masuk anggota Gereja Lutheran. Namun di gereja HKBP tidak pernah selama satu abad, memikirkan dan melaksanakan sebagaimana yang pernah diinginkan Martin Luther, yaitu mengundang campur tangan pemerintah, sebagai anggota gereja yang terkemuka, untuk mengatur hal organisatoris, demi tercapainya ketertiban. Martin Luther memangadalah dipengaruhi pikiran-pikiran abad pertengahan, yang mengatakan, bahwa dalam keadaan darurat pemerintah mempunyai hak mengambil tindakan dalam urusan-urusan kegerejaan. Dan sebenarnya hal ini dilakukannya setidak-tidaknya oleh karena ia tidak melihat jalan lain untuk membuat hanya firman Allah yang berkuasa dalam gereja.

Sejak tahun 1920-an terutama setelah Indonesia merdeka semangat nasionalisme ikut mendorong hidup kekristenan dan hidup bergereja dari orang Kristen Batak.Negara Indonesia yang berdasar pada ”demokrasi Pancasila” ikut mempengaruhi kepada gereja HKBP yang bersifat atau menganut system ”demokrasi” sebagaimana terlihat dan dituliskan dalam Aturan dan Peraturan mulai tahun 1950.

Dari apa yang diterangkan di atas, dapat kita lihat, bahwa pemahaman tentang gereja (eklesiologi) ditengah-tengah warga HKBP selalu dihubungkan dengan pemahamannya dan pelaksanaannya terhadap Aturan dan Peraturan yang ada dan harus ditaati dalam gereja itu. Di banyak tempat ada warga jemaat yang terpaksa diekskomunikasikan (dipabali) karena melanggar atau melakukan yang berlawanan dengan Aturan Peraturan.
8. Dalam HKBP dihormati ajaran mengenai ”Imamat am orang-orang percaya”, namun hingga kini kebanyakan warga jemaat masih beranggapan bahwa gereja itu adalah merupakan ”gereja pendeta”. Sejak adanya Aturan Peraturan HKBP 1881, Aturan 1930 dan Aturan 1950, sampai Aturan 1992 dan Aturan 1994, yang memimpin jemaat ialah Pendeta Ressort, jabatan Guru Huria atau Wakil Guru Huria adalah yang membantu Pendeta Ressort di jemaat yang dilayani. Memang pada tahun 1960-an, dan 1970-an pada waktu di tingkat Pusat seolah-olah duet kepemimpinan yang disebut Pucuk Pimpinan HKBP (Ephorus dan Sekretaris Jenderal), maka di tingkat Huria juga sepertinya duet Pendeta Ressort dan Guru Huria (Wakil Guru Huria), terbukti dalam surat-surat bahkan Akte Nikah dan yang lainnyayang ditandatangani duet tersebut. Walau pun jelas dikatakan yang memimpin HKBP ialah Ephorus, memimpin distrik Praeses dan memimpin Ressort ialah Pendeta Ressort dan di Jemaat dibantu Guru Huria/Wakil Guru Huria. Baru sejak 1 Januari 2004 (berdasarkan Aturan Peraturan 2002) Pimpinan Jemaat diberikan kesempatan kepada Jemaat ”pagaran” atau cabang, namununtuk Jemaat Induk (huria sabungan) Pendeta Ressort tetap menjadi Pimpinan, dan bahkan tidak ada lagi seseorang sebagai yang membantunya, yaitu Guru Jemaat atau Wakil Guru Jemaat (yang dari Sintua). Aturan dan Peraturan yang baru telah memberlakukan KEPEMIMPINAN KOLEKTIF – Pimpinan Jemaat, Ketua Dewan Koinonia, Ketua Dewan Marturia, Ketua Dewan Diakonia, disertai Pimpinan Majelis Perbendaharaan (Ketua Parhalado Parartaon) -. Bila di tingkat Pusat memimpin rapat MPS atau Sinode Godang maka lima orang selalu duduk di depan yaitu: Ephorus, Sekretaris Jenderal, Kepala Departemen Koinonia, Kepala Departemen Marturia dan Kepala Departemen Diakonia. Mereka berlima disebut Pimpinan HKBP (Uluan ni HKBP) dan mereka ada tugas Rapim (Rapat Pimpinan).

Sebelum Aturan dan Peraturan yang baru ini, Di banyak gereja HKBP (terutama jemaat pagaran) lebih sering Guru Huria atau Wakil Guru Huria memimpin rapat dalam gereja itu, tetapi adalah setelah diberi wewenang atau pendelegasian oleh Pendeta Ressort, dan bahwa setiap hasil rapat yang dipimpin barulah sah bila telah ditandatangani Pendeta Ressort. Dalam Aturan yang baru sudah ditentukan adanya Pimpinan Jemaat yang memimpin jemaat dan memiliki uraian tugas dan tanggungjawab yang jelas, bekerja sama dengan para ketua dewan dan ketua majelis perbendaharaan. Bila pendeta ressort hadir dalam rapat di tingkat jemaat, tentu posisinya bukan lagi seperti yang memimpin rapat (barangkali sudah seperti kehadiran Praeses bila diundang dalam rapat ressort). Dan tentu adalah sah keputusan rapat di jemaat, yang dipimpin oleh Pimpinan Jemaat. Alat kontrol dari tingkat atas adalah yang sesuai dengan uraian tugas Pimpinan Jemaat, serta tugas-tugas dari setiap rapat yang ada di tingkat jemaat, yang semuanya ada diatur dalam Aturan Peraturan HKBP.

Dengan demikian kita melihat lagi eklesiologi HKBP dalam pemahaman yang berbeda dengan Gereja Presbyterial (di mana Majelis Jemaat yang mengendalikan kepemimpinan dengan seorang ketua dari Penatua atau Pelayan Tahbisan) dan Gereja Congregasional (di mana Jemaat mengendalikan kepemimpinan, ketuanya tidak harus dari Penatua atau Pelayan Tahbisan, justru umumnya adalah dari warga jemaat).Dalam hal ini masih ada warga jemaat HKBP memahami eklesiologi yang dipengaruhi situasi dan keadaan yang terjadi di sekitar jemaat itu, oleh pertemuan dan persekutuan yang terjadi melalui pelaksanaan adat istiadat atau budaya dengan tidak membedakan agama atau denominasi kegerejaan.

9. Pemahaman eklesiologi telah ”men-tradisi” di HKBP tentang peranan pendeta, yang bukan hanya pemimpin kerohanian tetapi juga pemimpin administrasi atau bertindak sebagai manager. Pendeta lebih dipercaya dalam hal ucapan dan pelaksanaannya yang selalu berdasarkan Aturan Peraturan HKBP, kemudian Keputusan-keputusan Sinode Agung (Sinode Godang), Sinode Distrik, Rapat Ressort dan rapat-rapat lainnya yang sah dalam HKBP. Eklesiologi bagi warga jemaat HKBP ini tercermin sampai saat ini, yang menganggap pendeta lebih mengetahui tentang hal-hal yang rohani dan kekristenan demikian juga kegerejaan. Memang usaha HKBP dalam mempersiapkan yang menjadi pendetanya juga semakin ketat dan meningkat, di mana pendeta di HKBP lebih diutamakan yang telah menyandang predikat sarjana di bidang teologi (hal ini pun tidak dari semua perguruan teologi). Ada tamatan Guru Huria yang melanjut ke Sekolah Pendeta, adalah setelah melalui penyaringan yang sangat ketat, yaitu minimal telah melayani sebagai Guru Huria selama 10 tahun dan memiliki prestasi yang baik selama melayani, dengan menerima surat rekomendasi dari minimal dua orang yang pernah pendeta ressortnya serta rekomendasi dari praesesnya, demikian juga harus lulus testing pengetahuannya. Di Sekolah Pendeta harus mengikuti kuliah setiap hari lagi selama tiga tahun dan lulus.

Dari apa yang kita lihat di atas, itulah kecenderungan kepada Gereja Episkopal (bahwa pimpinan tertinggi dari Pelayan Tahbisan, itulah yang paling menentukan. Dia memiliki banyak hak prerogatif oleh jabatan kepemimpinannya). Namun HKBP bukan gereja Episkopal. HKBPada Sinode Agung-nya (Gereja Sinodal) dan ada Rapat Majelis-nya (Gereja Presbyterial) demikian juga ada Rapat Huria/Jemaat (Gereja Congretasional). Dan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam Aturan Peraturan. Kita lebih tepat mengatakan, bahwa HKBP adalah HKBP (HKBP is HKBP). Untuk lebih mengerti eklesiologi HKBP maka harus mempelajari secara mendalam tentang HKBP, yang sebagian telah kita uraikan di atas.

10. Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat kita mengambil kesimpulan: Pertama, Warga Jemaat HKBP dalam persekutuannya sebagai orang-orang percaya kepada Yesus Kristus, yang selalu dihimpun dan dibina secara tertib dan teratur berdasarkan Aturan dan Peraturan yang ditetapkan, harus tetap dipertahankan. Menghilangkan tradisi ini dapat menghilangkan jati-diri (identitas) HKBP sebagai penampakan Tubuh Kristus di dunia ini. Kedua, Pengertian eklesiologi dalam hal ini HKBP sebagai gereja, yang sering disalahpahami oleh warga jemaat, terutama dalam hubungannya dengan peranan pendeta (sebagai pimpinan) atau rapat majelis yang dipimpin pendeta, perlu diluruskan. Seluruh warga jemaat (baik pendeta atau awam) harus lebih menaati Firman Allah sebagaimana disaksikan dalam Alkitab. Ketiga, HKBP harus selalu mengutamakan penampakan dirinya sebagai Tubuh Kristus, milik Tuhan Allah dan persekutuan orang-orang kudus, dalam hubungannya dengan pemerintah, budaya Batak, keadaan masyarakat yang multi-dimensional, dan dengan berbagai suku, agama dan ras, secara khusus di Indonesia ini.